Awatara Wisnu dalam Purana

Awatara Wisnu dalam Purana
Awatara Wisnu dalam Purana

Senin, 07 Maret 2011

Awatara Wisnu dalam Purana



















a.Matsya Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai Ikan yang besar yang
    menyelamatkan manusia pertama dari tenggelam saat dunia dilanda banjir yang
    maha besar
b. Kurma Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai kura-kura besar yang menumpu
    dunia agar selamat dari bahaya terbenam saat pemutaran Gunung Mandara di
    Lautan Susu (Kesire Arnawa) oleh para Dewa untuk mencari Tirta Amertha (Air
    suci kehidupan)
c. Waraha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Badak Agung yang mengait
    dunia kembali agar selamat dari bahaya tenggelam
d. Nara Simbha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai manusia berkepala singa
    (Simbha/Sima) yang membasmi kekejaman Raja Hyrania Kasipu yang sangat lalim
    dan menindas Adharma
e. Wamana Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai orang kerdil
     berpengetahuan tinggi dan mulia dalam mengalahkan Maha Raja Bali yang
     sombong dan ingin menguasai dunia serta menginjak-injak Dharma.
f. ParasuRama Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai Rama Parasu
    yaitu Rama bersenjatakan Kapak yang membasmi para ksatrya yang menyeleweng
    dari ajaran Dharma.
g. Rama Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Sang Rama putra raja Dasa Rata
    dari Ayodya untuk menghanncurkan kejahatan dan kelaliman yang ditimbulkan
    oleh Raksasa Rahwana dari negara Alengka.


h. Krisna Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Sri Krisna raja Dwarawati
   untuk membasmi raja Kangsa, Jarasanda dan membantu Pandawa untuk
   menegakkan keadilan dengan membasmi Kurawa yang menginjak-injak Dharma.
i. Budha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai putra raja Sododana di
   Kapilawastu India dengan nama Sidharta Gautama yang berarti telah mencapai
   kesadaran yang sempurna. Budha Gautama menyebarkan ajaran Budha dengan
   tujuan untuk menuntun umat manusia mencapai kesadaran, penerangan yang
   sempurna atau Nirwana.
j. Kalki Awatara yaitu penjelmaan Hyang Widhi yang terakhir yang akan turun
    untuk membasmi penghinaan-penghinaan, pertentangan-pertentangan agama akibat
    penyelewengan umat manusia dari ajaran Hyang Widhi (Dharma). Menurut
    keyakinan umat Hindu, awatara terakhir akan turun apabila memuncaknya
    pertentangan-pertentangan agama di dunia ini dan saat berakhirnya era kali yuga
    dan kembali ke zaman Dwapara Yuga dimana umat manusia hidup dalam
    kesejahteraan dan kebahagiaan.
Sepuluh Awatara dari zaman ke zaman
( 1 ) Matsya Awatara, sang ikan, muncul saat Satya Yuga
( 2 ) Kurma Awatara, sang kura-kura, muncul saat Satya Yuga
( 3 ) Waraha Awatara, sang babi hutan, muncul saat Satya Yuga
( 4 ) Narasimha Awatara, manusia berkepala singa, muncul saat Satya Yuga
( 5 ) Wamana Awatara, sang orang cebol, muncul saat Treta Yuga
( 6 ) Parasurama Awatara, sang Rama bersenjata kapak, muncul saat Treta Yuga
( 7 ) Rama Awatara, sang ksatria, muncul saat Treta Yuga
( 8 ) Kresna Awatara, putra Wasudewa, muncul saat Dwapara Yuga
( 9 ) Buddha Awatara, pangeran Siddharta Gautama, muncul saat Kali Yuga
( 10 ) Kalki Awatara, sang pemusnah, muncul saat Kali Yuga 



1.    Matsya Awatara


















Awatara Wisnu yang berwujud ikan raksasa

Dewanagari: मत्स्
Ejaan Sanskerta: Matsya
Golongan: Awatara Wisnu
Untuk kegunaan lain dari Matsya, lihat Matsya (disambiguasi).
Dalam ajaran agama Hindu, Matsya (Dewanagari: मत्स्; ,IASTmatsya, मत्स्) adalah awatara Wisnu yang berwujud ikan raksasa. Dalam bahasa Sanskerta, kata matsya sendiri berarti ikan. Menurut mitologi Hindu, Matsya muncul pada masa Satyayuga, pada masa pemerintahan Raja Satyabrata (lebih dikenal sebagai Maharaja Waiwaswata Manu), putra Wiwaswan, dewa matahari. Matsya turun ke dunia untuk memberitahu Maharaja Manu mengenai bencana air bah yang akan melanda bumi. Ia memerintahkan Maharaja Manu untuk segera membuat bahtera besar.
Kisah dengan tema serupa juga dapat disimak dalam kisah Nabi Nuh, yang konon membuat bahtera besar untuk melindungi umatnya dari bencana air bah yang melanda bumi. Kisah dengan tema yang sama juga ditemukan di beberapa negara, seperti kisah dari penduduk asli Amerika dan dari Yunani.

2.         Kurma Awatara

















Awatara Wisnu
yang berwujud kura-kura

Dewanagari: कुर्म
Ejaan Sanskerta: Kurma
Nama lain: Akupa
Golongan: Awatara Wisnu
Senjata: Cakram dan Gada
Dalam agama Hindu, Kurma (Sansekerta: कुर्म; Kurma) adalah awatara (penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang berwujud kura-kura raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga. Menurut kitab Adiparwa, kura-kura tersebut bernama Akupa.
Menurut berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud seekor kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan susu (Kserasagara atau Kserarnawa). Di dasar laut tersebut konon terdapat harta karun dan tirta amerta yang dapat membuat peminumnya hidup abadi. Para Dewa dan Asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk mangaduk laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang bernama Mandara digunakan untuk mengaduknya. Para Dewa dan para Asura mengikat gunung tersebut dengan naga Wasuki dan memutar gunung tersebut. Kurma menopang dasar gunung tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak gunung tersebut agar tidak terangkat ke atas. Setelah sekian lama tirta amerta berhasil didapat dan Dewa Wisnu mengambil alih.
Kurma juga nama dari seorang resi, putra Gretsamada.


3.         Waraha awatara


















Awatara Wisnu
yang berwujud babi hutan

Dewanagari: वाराह
Ejaan Sanskerta: Varāha
Nama lain: Bhuwaraghan; Waraghan; Warha (baca selengkapnya di bawah)
Golongan: Awatara Wisnu
Senjata: Cakram dan Gada
Pasangan: Pertiwi
Waraha (Sanskerta: वाराह; Varāha) adalah awatara (penjelmaan) ketiga dari Dewa Wisnu yang berwujud babi hutan. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga (zaman kebenaran). Kisah mengenai Waraha Awatara selengkapnya terdapat di dalam kitab Warahapurana dan Purana-Purana lainnya. Menurut mitologi Hindu, pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang menang
Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
Waraha Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet bumi dengan kedua taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata. Kadangkala dilukiskan sebagai manusia berkepala babi hutan, dengan dua taring menyangga bola dunia, bertangan empat, masing-masing membawa: cakra, terompet dari kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada.


4.         Narasinga ( Narasimha ) Awatara



































Awatara Wisnu
yang berwujud manusia berkepala singa

Dewanagari: नरसिंह
Ejaan Sanskerta: Nārasiṃha
Golongan: Awatara Wisnu
Senjata: cakram, gada, pedang, panah
Narasinga (Devanagari: नरसिंह ; disebut juga Narasingh, Nārasiṃha) adalah awatara (inkarnasi/penjelmaan) Wisnu yang turun ke dunia, berwujud manusia dengan kepala singa, berkuku tajam seperti pedang, dan memiliki banyak tangan yang memegang senjata. Narasinga merupakan simbol dewa pelindung yang melindungi setiap pemuja Wisnu jika terancam bahaya.
Menurut kitab Purana, pada menjelang akhir zaman Satyayuga (zaman kebenaran), seorang raja asura (raksasa) yang bernama Hiranyakasipu membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang apabila di kerajaannya ada orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang lalu, adiknya yang bernama Hiranyaksa dibunuh oleh Waraha, awatara Wisnu.
Agar menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat, dan hanya memusatkan pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah Brahma berkenan untuk muncul dan menanyakan permohonannya, Hiranyakasipu meminta agar ia diberi kehidupan abadi, tak akan bisa mati dan tak akan bisa dibunuh. Namun Dewa Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain. Akhirnya Hiranyakashipu meminta, bahwa ia tidak akan bisa dibunuh oleh manusia, hewan ataupun dewa, tidak bisa dibunuh pada saat pagi, siang ataupun malam, tidak bisa dibunuh di darat, air, api, ataupun udara, tidak bisa dibunuh di dalam ataupun di luar rumah, dan tidak bisa dibunuh oleh segala macam senjata. Mendengar permohonan tersebut, Dewa Brahma mengabulkannya.
Sementara ia meninggalkan rumahnya untuk memohon berkah, para dewa yang dipimpin oleh Dewa Indra, menyerbu rumahnya. Narada datang untuk menyelamatkan istri Hiranyakasipu yang tak berdosa, bernama Lilawati. Saat Lilawati meninggalkan rumah, anaknya lahir dan diberi nama Prahlada. Anak itu dididik oleh Narada untuk menjadi anak yang budiman, menyuruhnya menjadi pemuja Wisnu, dan menjauhkan diri dari sifat-sifat keraksasaan ayahnya.

Narasinga membunuh Hiranyakashipu


5.         Wamana Awatara



































Awatara Wisnu
yang berwujud orang kerdil

Dewanagari: वामन
Ejaan Sanskerta: Vāmana
Nama lain: Upendra
Golongan: Awatara Wisnu
Dalam agama Hindu, Wamana (Devanagari: वामन ; Vāmana) adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai putra Aditi dan Kasyapa, seorang Brahmana. Ia (Wisnu) turun ke dunia guna menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali), seorang Asura, cucu dari Prahlada. Raja Bali telah merebut surga dari kekuasaan Dewa Indra, karena itu Wisnu turun tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak kecil yang membawa payung. Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa Wisnu yang mengambil bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadang-kadang dikenal juga dengan sebutan "Upendra."

Kisah Wamana Awatara

Kisah Wamana Awatara dimuat dalam kitab Bhagawatapurana. Menurut cerita dalam kitab, Wamana sebagai Brahmana cilik datang ke istana Raja Bali karena pada saat itu Raja Bali mengundang seluruh Brahmana untuk diberikan hadiah. Ia sudah dinasehati oleh Sukracarya agar tidak memberikan hadiah apapun kepada Brahmana yang aneh dan lain daripada biasanya. Pada waktu pemberian hadiah, seorang Brahmana kecil muncul di antara Brahmana-Brahmana yang sudah tua-tua. Brahmana tersebut juga akan diberi hadiah oleh Bali.
Brahmana kecil itu meminta tanah seluas tiga jengkal yang diukur dengan langkah kakinya. Raja Bali pun takabur dan melupakan nasihat Sukracarya. Ia menyuruh Brahmana kecil itu melangkah.
Pada waktu itu juga, Brahmana tersebut membesar dan terus membesar. Dengan ukurannya yang sangat besar, ia mampu melangkah di surga dan bumi sekaligus. Pada langkah yang pertama, ia menginjak surga. Pada langkah yang kedua, ia menginjak bumi. Pada langkah yang ketiga, karena tidak ada lahan untuknya berpijak, maka Bali menyerahkan kepalanya. Sejak itu, tamatlah kekuasaan Bali. Karena terkesan dengan kedermawanan Bali, Wamana memberinya gelar Mahabali. Ia juga berjanji bahwa kelak Bali akan menjadi Indra pada Manwantara berikutnya.




6.         Parasurama Awatara
 

















Parasurama merupakan putra bungsu Jamadagni, seorang resi keturunan Bregu. Itulah sebabnya ia pun terkenal dengan julukan Bhargawa. Sewaktu lahir Jamadagni memberi nama putranya itu Rama. Setelah dewasa, Rama pun terkenal dengan julukan Parasurama karena selalu membawa kapak sebagai senjatanya. Selain itu, Parasurama juga memiliki senjata lain berupa busur panah yang besar luar biasa.
Sewaktu muda Parasuama pernah membunuh ibunya sendiri, yang bernama Renuka. Hal itu disebabkan karena kesalahan Renuka dalam melayani kebutuhan Jamadagni sehingga menyebabkan suaminya itu marah. Jamadagni kemudian memerintahkan putra-putranya supaya membunuh ibu mereka tersebut. Ia menjanjikan akan mengabulkan apa pun permintaan mereka. Meskipun demikian, sebagai seorang anak, putra-putra Jamadagni, kecuali Parasurama, tidak ada yang bersedia melakukannya. Jamadagni semakin marah dan mengutuk mereka menjadi batu.
Parasurama sebagai putra termuda dan paling cerdas ternyata bersedia membunuh ibunya sendiri. Setelah kematian Renuka, ia pun mengajukan permintaan sesuai janji Jamadagni. Permintaan tersebut antara lain, Jamadagni harus menghidupkan dan menerima Renuka kembali, serta mengembalikan keempat kakaknya ke wujud manusia. Jamadagni pun merasa bangga dan memenuhi semua permintaan Parasurama.




7.      Rama Awatara


















Asal-  usul nama "Rama"

Rāmá dalam kitab Regweda dan Atharwaweda adalah kata sifat yang berarti "gelap, hitam", atau kata benda yang berarti "kegelapan", bentuk feminim dari kata sifat tersebut adalah rāmī. Dua Rama muncul dalam pustaka Weda, dengan nama keluarga Mārgaweya dan Aupataswini; Rama yang lain muncul dengan nama keluarga Jāmadagnya yang dianggap sebagai penulis himne Regweda. Menurut Monier-Williams, tiga Rama dihormati pasca masa Weda, yaitu:
  1. Rāma-candra ("Rama-rembulan"), putra Dasarata, keturunan Raghu dari Dinasti Surya.
  2. Parashu-rāma ("Rama besenjata kapak"), awatara Wisnu yang keenam, kadangkala dianggap sebagai Jāmadagnya, atau sebagai Bhārgawa Rāma (keturunan Bregu), seorang "Chiranjiwin" atau makhluk abadi.
  3. Bala-rāma ("Rama yang kuat"), juga disebut Halāyudha (bersenjata bajak saat bertempur), kakak sekaligus teman dekat Kresna, awatara Wisnu yang kedelapan.
Dalam Wisnu sahasranama, Rama adalah nama lain Wisnu yang ke-394. Dalam interpretasi dari komentar Adi Sankara, yang diterjemahkan oleh Swami Tapasyananda dari Misi Ramakrishna, Rama memiliki dua pengertian: 1) Brahman yang maha kuasa yang menganugerahkan para yogi; 2) Ia (Wisnu) yang meninggalkan kahyangan untuk menitis kepada Rama, putera Dasarata.

Sumber literatur

Sumber utama mengenai kehidupan dan perjalanan Rama adalah wiracarita Ramayana yang disusun Resi Walmiki. Namun, sastra lain dalam bahasa Sanskerta juga merefleksikan riwayat dalam Ramayana. Sebagai contoh, Wisnupurana juga menceritakan Rama sebagai awatara Wisnu yang ketujuh dan dalam Bayupurana, seorang Rama disebut di antara tujuh Resi dari Manwantara ke-8. Dan juga kisah Rama disebut dalam wiracarita lainnya, yaitu Mahabharata. Versi lain yang penting dan lebih pendek adalah Ādhyātma Ramayana. Ramayana memiliki berbagai versi di sepanjang wilayah India. Sebagai contoh, versi sederhana Ramayana yang menceritakan kehidupan dan filsafat ketuhanan Rama dituangkan dalam sajak kepahlawanan berjudul Kambaramayanam pada abad ke-12 oleh penyair Kamban dalam bahasa Tamil, dan Ramacharitamanasa, Ramayana versi bahasa Hindi pada abad ke-16 oleh penyair Tulsidas. Berbagai versi yang berbeda juga ada dan muncul dalam bahasa-bahasa terkemuka di India. Ramayana versi kontemporer meliputi Shri Ramayana Darshanam oleh Dr. K. V. Puttappa dalam bahasa Kannada, dan Ramayana Kalpavrikshamu oleh Viswanatha Satyanarayana dalam bahasa Telugu, yang mana keduanya memperoleh penghargaan dalam Jnanpith Award. Wiracarita Ramayana tersebar di berbagai wilayah India, dan menonjolkan keunikan budaya masing-masing daerah.
Kisah Rama juga menyebar ke wilayah Asia Tenggara, dan diadaptasikan dengan kebudayaan, cerita rakyat, dan kepercayaan masyarakat setempat. Kakawin Rāmāyana dari Jawa (Indonesia), Ramakawaca dari Bali, Hikayat Seri Rama dari Malaysia, Maradia Lawana dari Filipina, Ramakien dari Thailand (yang menyebut Rama sebagai Phra Ram) merupakan karya-karya besar yang unik dan mengandung berbagai versi berbeda mengenai kehidupan Rama. Legenda mengenai Rama dapat disaksikan dalam ukiran di kuil Wat Phra Kaew di Bangkok. Wiracarita nasional Myanmar, Yama Zatdaw sebenarnya merupakan Ramayana versi Myanmar, dimana Rama dipanggil Yama. Dalam Reamker dari Kamboja, Rama dikenal sebagai Preah Ream.


8.         Krisna Awatara


















Awatara Wisnu sebagai putra kedelapan Basudewa dari Dinasti Yadu.
Tuhan Yang Mahakuasa dalam sekte Gaudiya Waisnawa.

Dewanagari: कृष्ण
Ejaan Sanskerta: kṛṣṇa
Nama lain: Acyuta; Basudewa; Bagawan; Gopala; Gowinda; Hari; Kesawa; Madawa; Narayana; Wisnu; dan lain-lain.
Golongan: Dewa,
Awatara Wisnu
Kediaman: Masa kecil: Gokul, Vrindavan
Masa remaja: Mathura
Dewasa:Kerajaan Dwaraka
Mantra: नमो भगवते वासुदेवाय
Om Namo Bhagavate Vāsudevāya
Senjata: Cakra Sudarsana
Pasangan: Radha, Rukmini,
Satyabama, Jambawati,
dan 16.104 istri lainnya
Wahana: Garuda
Kresna (Dewanagari: कृष्ण; ,IASTkṛṣṇa,; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa sekte Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita Mahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.
Kisah-kisah mengenai Kresna muncul secara luas di berbagai ruang lingkup agama Hindu, baik dalam tradisi filosofis maupun teologis. Berbagai tradisi menggambarkannya dalam berbagai sudut pandang: sebagai dewa kanak-kanak, tukang kelakar, pahlawan sakti, dan Yang Mahakuasa. Kehidupan Kresna dibahas dalam beberapa susastra Hindu, yaitu Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawatapurana, dan Wisnupurana.
Pemujaan terhadap dewa atau pahlawan yang disebut Kresna—dalam wujud Basudewa, Balakresna atau Gopala—dapat ditelusuri sampai awal abad ke-4 SM. Pemujaan Kresna sebagai Swayam Bhagawan, atau Tuhan Yang Mahakuasa, yang dikenal sebagai Kresnaisme, muncul pada Abad Pertengahan dalam situasi Gerakan Bhakti. Dari abad ke-10 M, Kresna menjadi subjek favorit dalam seni pertunjukan. Tradisi pemujaan di masing-masing daerah mengembangkan berbagai macam wujud/aspek Kresna seperti Jagadnata di Orissa, Witoba di Maharashtra dan Shrinathji di Rajasthan. Sekte Gaudiya Waisnawa yang terpusat pada pemujaan kepada Kresna didirikan pada abad ke-16, dan sejak tahun 1960-an juga telah menyebar di Dunia Barat, sebagian besar disebabkan oleh organisasi Masyarakat Internasional Kesadaran Kresna (International Society for Krishna Consciousness - ISKCON).

Nama dan gelar

Ejaan Kresna
Dewanagari: कृष्ण
Jawa:
Kresna-aksara Jawa.png
Bali:
Kresna - aksara Bali.png
IAST: kṛṣṇa
(kṛ-ṣṇa)
IPA: [ˈkr̩ʂɳə]
Dalam aksara Dewanagari, kṛṣṇa ditulis कृष्ण (dibaca [ˈkr̩ʂɳə]). Dalam aksara Jawa dan Bali, huruf vokal (Alfabet Fonetis Internasional: [ ]*dengarkan contoh bunyi) tersebut dialihaksarakan sebagai Pa cerek (Bali: Ra repa) yang melambangkan bunyi /rə/ daripada /r̩/ (ditulis dengan huruf Latin "Re"), karena bunyi /r̩/ tidak terdapat dalam bahasa Jawa dan Bali. Maka dari itu kata कृष्ण dialihaksarakan menjadi "Kresna" (dibaca [ˈkrəsna]).
Kata kṛṣṇa dalam bahasa Sanskerta pada dasarnya merupakan kata sifat yang berarti "hitam", "gelap" atau "biru tua". Kata tersebut berhubungan dengan kata čьrnъ (crn, 'hitam') dalam rumpun bahasa Slavia. Sebagai kata benda feminin, kata kṛṣṇā digunakan dengan makna "malam, hitam, kegelapan" dalam kitab suci Regweda, dan sebagai iblis atau jiwa kegelapan dalam mandala (bab) IV Regweda. Untuk nama diri, kata Kṛṣṇa muncul dalam mandala VIII sebagai nama seorang penyair. Sebagai salah satu nama Wisnu, kata "Kṛṣṇa" terdaftar sebagai nama ke-57 dalam kitab Wisnu Sahasranama (Seribu Nama Wisnu). Berdasarkan nama tersebut, Kresna seringkali digambarkan dalam arca dengan kulit hitam maupun biru.
Kresna juga dikenal dengan berbagai macam nama, julukan, dan gelar, yang mencerminkan berbagai atribut dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dalam kitab Mahabarata dan Bhagawadgita, Kresna disebut dengan berbagai nama, sesuai karakteristiknya. Beberapa nama tersebut diantaranya: Acyuta (yang kekal; teguh); Arisudana (penghancur musuh); Bagawan (Yang Mahakuasa); Gopala (pelindung sapi); Gowinda (penggembala sapi); Hresikesa (penguasa indria); Janardana (juru selamat umat manusia); Kesawa (yang berambut indah); Kesinisudana (pembunuh raksasa Kesi); Madawa (suami dewi keberuntungan); Madusudana (pembunuh raksasa Madhu); Mahabahu (yang berlengan perkasa); Mahayogi (rohaniwan agung); Purusottama (manusia utama, yang berkepribadian paling baik); Warsneya (keturunan Wresni); Basudewa; Wisnu; Yadawa (keturunan Yadu); Yogeswara (penguasa segala kekuatan batin).
Di antara berbagai namanya, yang terkenal adalah Gowinda, "penggembala sapi", atau Gopala, "pelindung para sapi", merujuk kepada pengalaman masa kecil Kresna di Braj. Beberapa nama lainnya dianggap penting bagi wilayah tertentu; misalnya, Jagatnata (penguasa alam semesta), terkenal di Puri, India Timur.




  *    Baladewa ( Balaram )



































Baladewa sebenarnya merupakan Kakak kandung Kresna karena terlahir sebagai putera Wasudewa dan Dewaki. Namun karena takdirnya untuk tidak mati di tangan Kamsa, ia dilahirkan oleh Rohini atas peristiwa pemindahan janin.
Kamsa, Kakak dari Dewaki, takut akan ramalan yang mengatakan bahwa ia akan terbunuh di tangan putera kedelapan Dewaki. Maka dari itu ia menjebloskan Dewaki beserta suaminya ke penjara dan membunuh setiap putera yang dilahirkan oleh Dewaki. Secara berturut-turut, setiap puteranya yang baru lahir mati di tangan Kamsa. Pada saat Dewaki mengandung puteranya yang ketujuh, nasib anaknya yang akan dilahirkan tidak akan sama dengan nasib keenam anaknya terdahulu. Janin yang dikandungnya secara ajaib berpindah kepada Rohini yang sedang menginginkan seorang putera. Maka dari itu, Baladewa disebut pula Sankarsana yang berarti "pemindahan janin".
Akhirnya, Rohini menyambut Baladewa sebagai puteranya. Pada masa kecilnya, ia bernama Rama. Namun karena kekuatannya yang menakjubkan, ia disebut Balarama (Rama yang kuat) atau Baladewa. Baladewa menghabiskan masa kanak-kanaknya sebagai seorang pengembala sapi bersama Kresna dan teman-temannya. Ia menikah dengan Reawati, puteri Raiwata dari Anarta.
Baladewa mengajari Bima dan Duryodana menggunakan senjata Gada. Dalam perang di Kurukshetra, Baladewa bersikap netral. Seperti kerajaan Widarbha dan Raja Rukmi, ia tidak memihak Pandawa maupun Korawa. Namun, ketika Bima hendak membunuh Duryodana, ia mengancam akan membunuh Bima. Hal itu dapat dicegah oleh Kresna dengan menyadarkan kembali Baladewa bahwa Bima membunuh Duryodana adalah sebuah kewajiban untuk memenuhi sumpahnya. Selain itu, Kresna mengingatkan Baladewa akan segala prilaku buruk Duryodana.



9     Gautama Buddha Awatara

















Menurut kepercayaan Hindu populer, pada zaman Kaliyuga, masyarakat menjadi bodoh akan nilai-nilai rohani dan kehidupan. Ada suatu kepercayaan bahwa pada kedatangan Sang Buddha, banyak brahmana di India yang menyalahgunakan upacara Weda demi kepuasan nafsunya sendiri, dan melakukan pengorbanan binatang yang sia-sia dan tiada berguna. Maka dari itu, Buddha muncul sebagai seorang awatara untuk memulihkan keseimbangan.
Gautama Buddha lahir sebagai Pangeran Siddhartha Gautama, putra Raja Suddhodana, sekitar abad ketujuh sebelum Masehi (2400 tahun yang lalu). Ayahnya sangat menginginkan dia menjadi Maharaja Dunia, namun pikirannya dibayang-bayangi oleh ramalan petapa Kondanna yang mengatakan bahwa anaknya akan menjadi Buddha karena melihat empat hal: orang sakit, orang tua, orang mati, dan pertapa. Keempat hal tersebut selalu berusaha ditutupi olah ayahnya. Ia tidak akan membiarkan sesuatu yang bersifat sakit, tua, mati, dan pertapa suci dilihat oleh Siddhartha.

Namun Siddhartha memang sudah ditakdirkan untuk menjadi Buddha. Ramalan pertapa Kondanna menjadi kenyataan. Keinginan Siddhartha untuk mendapat pencerahan (yang mengantarnya menjadi Buddha) terlintas ketika ia melihat empat hal tersebut. Pikirannya terbuka untuk mencari obat penawar sakit, tua, dan mati. Akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pertapa dan berkeliling mencari pertapa-pertapa terkenal dan mengikuti ajaran mereka, namun semuanya tidak membuat Siddhartha puas. Akhirnya ia menemukan pencerahan ketika bertapa di bawah Pohon bodhi di Bodh Gaya pada malam Purnama Sidhi bulan Waisak




10.       Kalki Awatara
















Awatara Wisnu yang menegakkan kebenaran
pada akhir zaman kegelapan

Dewanagari: कल्कि
Ejaan Sanskerta: Kalki
Golongan: Awatara Wisnu
Senjata: Pedang
Wahana: Kuda putih
Dalam ajaran agama Hindu, Kalki (Sanskerta: कल्कि; Jepang: カルキ) (juga disalin sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah awatara kesepuluh dan awatara (inkarnasi) terakhir Dewa Wisnu Sang pemelihara, yang akan datang pada akhir zaman Kaliyuga (zaman kegelapan dan kehancuran).

Etimologi

Kata Kalki seringkali merupakan suatu kiasan dari “keabadian” atau “masa”. Asal mula nama tersebut diperkirakan berasal dari kata Kalka yang bermakna “kotor”, “busuk”, atau “jahat” dan oleh karena itu "Kalki" berarti “Penghancur kejahatan”, “Penghancur kekacauan”, "Penghancur kegelapan", atau “Sang Pembasmi Kebodohan”. Dalam bahasa Hindi, kalki avatar berarti “inkarnasi hari esok”.

Apa yang akan Kalki lakukan?

Berbagai tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan pemikiran mengenai kapan, bagaimana, di mana, dan mengapa Kalki Awatara muncul. Penggambaran yang umum mengenai Kalki Awatara yaitu beliau adalah Awatara yang mengendarai kuda putih (beberapa sumber mengatakan nama kudanya “Devadatta” (anugerah Dewa) dan dilukiskan sebagai kuda bersayap). Kalki memiliki pedang berkilat yang digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan menghancurkan iblis Kali, kemudian menegakkan kembali Dharma dan memulai zaman yang baru.

Ramalan tentang Kalki

Salah satu sumber yang pertama kali menyebutkan istilah Kalki adalah Wisnu Purana, yang diduga muncul setelah masa Kerajaan Gupta sekitar abad ke-7 sebelum Masehi. Wisnu adalah Dewa pemelihara dan pelindung, salah satu bagian Trimurti, dan merupakan penengah yang mempertimbangkan penciptaan dan kehancuran sesuatu. Kalki juga muncul di salah satu dari 18 kitab Purana yang utama, Agni Purana. Kitab purana yang memuat khusus tentang Kalki adalah Kalki Purana. Di sana dibahas kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa Kalki muncul.









Demikian singkat cerita dari dasa awatara visnu dalam purana

OM SHANTIH SHANTI SHANTI OM
3 snti;                                  snti;                                  snti;                                   3

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar